Bukan saya menjadi saksi nikah. Tetapi persoalan saksi nikah selalu terabai.
Pihak keluarga pengantin biasanya memberi tumpuan kepada bakal suami dan wali. Bakal suami ‘berabis’ memahami dan menghafal rukun Islam, rukun Iman dan rukun nikah. Mengingat-ingat istighfar, dua kalimah syahadah dan solawat. Bimbang kalau disuruh dan ditanya tuan jurunikah.
Begitu juga persoalan wali. Terutama jika ada kes pengantin perempuan adalah anak sulung. Atau kes wali tidak memberi izin, wali bukan jenis kaki sembahyang. Ada implikasi hukum di belakang hari.
Tetapi persoalan dua saksi kebiasaannya terabai. Dalam rukun nikah dijelaskan, salah satunya ialah dua saksi yang adil. Adil maknanya tidak fasik. Fasik ertinya tidak melakukan dosa besar, atau tidak melakukan dosa kecil secara berterusan.
Contohnya, saksi tidak sembahyang. Ini contoh yang banyak terjadi dalam kes-kes nikah.
Bagaimana hukum pernikahan yang disaksikan oleh dua orang atau salah seorangnya fasik? Tidakkah itu merosakkan pernikahan dan keturunan sepasang suami isteri itu? (Betulkah sudah jadi suami isteri jika saksinya fasik?)
Para ustaz selalu mengajar, untuk mengelak itu berlaku, disuruhlah saksi itu kedua-duanya beristighfar, mudah-mudahan Allah mengampunkan dosa mereka.
Jika dosa mereka terampun, mereka tidak fasik lagi.
Ada yang bertanya, semudah itukah? Jawabnya, kita menghukum berdasarkan yang zahir. Zahirnya dia beristighfar kepada Allah. Adapun hakikatnya, adakah dia beristighfar dengan sesungguhnya, terpulanglah kepada Allah yang menilainya dan menghukumnya.
Itu tak apa. Tapi kebanyakan jurunikah hanya menyuruh pengantin lelaki yang beristighfar sendirian, tanpa melibatkan wali dan saksi.
Alangkah baiknya, jika semua yang hadir beristighfar dan memohon keampunan daripada Allah SWT. Semuanya selamat.